Baru dapat post di facebook teman, saya kira isinya FP (Fans Page) menjelekkan Indonesia, itu mah saya anggap angin lalu, wong orangnya saja enggak keliatan. Coba kalau bisa tatap muka, lain lagi ceritanya.
Nah, ketemu yang satu ini, bisa dibaca sendiri kalimatnya satu persatu, kurang lebihnya, Jika Timnas bisa menang lawan Singapura, nama akun FB "Eja Takim Madriditas" akan berenang dari Sabah sampai Merauke. Selain itu bilang tim Garuda abal-abal, mana bisa menang. Eh, malah membanggakan kecepatan striker Timnas Singapura dan meramal Timnas Garuda gak bakal bisa menang, dan buktinya? Andik dkk bisa melakukannya.
Penasaran, anak mana kok bilang gitu, ketemu, eh kok kuliahnya di Untag Surabaya tapi di sana juga ditulis asal Ende, ikut pergerakan mahasiswa pula. Saya rasa, kurang pantas mengucap seperti itu, jika memang benar dia yang menulisnya. Kita sama-sama orang Indonesia bung !!!
Kenapa sampai saya tulis di blog ini? Miris, andai yang nulis bukan orang Indonesia yang tinggal di bumi Nusantara, enggak masalah, tapi kalau sampai si empunya, pemilik FB sendiri yang bilang? Miris, miris dan sekali lagi miris. Tidak hanya satu, dua yang benci Timnas Garuda, banyak saya lihat di Facebook, tapi kesamaan mereka apa? Suka klub sepakbola dari luar seperti si Eja Takim ini suka Real Madrid.
Saya jadi ingat waktu kuliah di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, sesudah lama vakum dari Sastra Unair. Sejumlah teman satu kelas ada yang dari Timor Leste, waktu ada pertandingan sepak bola Timnas, ikutan kok nimbrung, nonton bareng di warkop dekat kampus, tidak sampai gontok-gontokan.
Gara-gara sepakbola jadi menjelekkan sesama pemuda Indonesia, Andik, Bambang semua pemain Timnas adalah orang Indonesia. Bagaimana mereka bisa sampai masuk Timnas, tentu punya cerita dan perjuangan masing-masing.
Saya pernah meliput Andik Vermansyah, setelah dia diberi kaos oleh Beckham, waktu itu bareng fotografer harian Surya dan kita harus menunggu karena Andik masih keluar dengan pacar serta kawan-kawan sekolah makan bakso. Kita ditemui oleh kedua orang tuanya di rumah yang baru dibeli seharga Rp 250 jutaan, itupun sebelumnya harus pindah-pindah kontrakan.
Saya masih ingat, dulu sempat bertanya, dulu Ibu mengijinkan Andik serius main sepak bola? Si Ibu menjawab (saya lupa nama Ibunya he he he),"Ya enggak mas, saya ingin dia sekolah, seperti teman sebayanya,".
Kalau Andik jadi seperti sekarang ini, perasaan Ibu bagaimana? "Ya, alhamdulillah mas, ingat-ingat dulu saya dan bapaknya enggak suka Andik main sepak bola, tapi kalau nasib berkata lain, ya dijalani saja mas," ujarnya.
Dengan jujur, Ibu Andik bilang jika, sepak bola tidak ada masa depannya, tapi, nasib Andik berkata lain, secara finansial sekarang Andik menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan Andik ingin meneruskan kuliah, dimana Universitas tersebut mau menerimanya dengan kompensasi bisa ditinggal jika ada kompetisi, serta membuka usaha sendiri.
Andai dan andai, pembenci Timnas Garuda bisa melihat lebih dekat, sisi humanis yang berkembang di dalam sebuah permainan sepak bola, mungkin bisa tidak ceroboh dalam berkata-kata. Tapi, namanya manusia. Janganlah, gara-gara sepakbola jadi menjelekkan sesama. Jadi ingat dulu masih SMA, kalah pertandingan, akhirnya tawuran, sampai-sampai Intel sering nyanggong di depan sekolah.
Gara-gara lihat postingan Facebook seperti ini, jadi ingat cerita almarhumah Bapak dulu. Saat masih jaman perjuangan, pemuda di Malang, karena bapak saya asli Malang, jika ketemu sesama pemuda, apalagi malam hari dan jalan-jalan masuk desa tetangga atau lebih jauh. Biar tahu kalau Arek Malang, maka akan mengatakan sebuah kode mirip merk rokok yakni KANSAS, artinya Kami Anak Negeri Setuju Akan Sukarno, jika sesama pejuang akan membalas dengan SASNAK, lupa saya artinya atau memang dibalik karena Kera Ngalam sukanya membalik kata-kata.
Lah coba, kalau si Eja Takim, hidup dalam kondisi seperti itu, ketemu sesama pemuda harus memberi kode, biar tahu teman atau tidak. Coba kalau yang disapa sedang pakai baju timnas? Hadeuh, ribet mbayanginnya.
Selain itu, saya lahir di Surabaya, masa kecil sering tinggal di rumah almarhum kakek di Jurang Miring depan koperasi NDau (kalau enggak salah) searah Sengkaling. Sekarang tinggal di Sidoarjo dapat istri orang Lamongan. Coba dikaitkan dengan peta suporter sepak bola Tanah Air sekarang ini.
Saya akrab dengan atribut Arema atau Bonek Persebaya sampai masa kuliah, lah sekarang pulang ke rumah Lamongan jadi sering lihat Arela berbaris menuju stadion. Tinggal di kandang Deltras Sidoarjo.
Begitu dulu pernah ramai bentrok suporter LA Mania dengan Bonek, sampai ada korban jiwa. Sampai-sampai jelang hari pernikahan banyak sweeping plat L di jalanan kota Lamongan. Dan, banyak teman menyarankan hati-hati waktu naik motor ke Lamongan. Dalam hati, sampai ngomong, lah apa hubungannya dengan saya, tapi alhamdulillah, rombongan teman-teman dari Surabaya yang hadir ke pernikahan saya naik motor, lancar-lancar saja. Gara-gara sepak bola mereka begini, biarlah anak-anak saya nanti memilih tim favorit mereka tanpa ada benci di dalam dada, apapun cabang olahraganya.
- Indonesia Masih Ada Nusantara Tetap di Dada -
[Read More...]
Nah, ketemu yang satu ini, bisa dibaca sendiri kalimatnya satu persatu, kurang lebihnya, Jika Timnas bisa menang lawan Singapura, nama akun FB "Eja Takim Madriditas" akan berenang dari Sabah sampai Merauke. Selain itu bilang tim Garuda abal-abal, mana bisa menang. Eh, malah membanggakan kecepatan striker Timnas Singapura dan meramal Timnas Garuda gak bakal bisa menang, dan buktinya? Andik dkk bisa melakukannya.
Penasaran, anak mana kok bilang gitu, ketemu, eh kok kuliahnya di Untag Surabaya tapi di sana juga ditulis asal Ende, ikut pergerakan mahasiswa pula. Saya rasa, kurang pantas mengucap seperti itu, jika memang benar dia yang menulisnya. Kita sama-sama orang Indonesia bung !!!
Kenapa sampai saya tulis di blog ini? Miris, andai yang nulis bukan orang Indonesia yang tinggal di bumi Nusantara, enggak masalah, tapi kalau sampai si empunya, pemilik FB sendiri yang bilang? Miris, miris dan sekali lagi miris. Tidak hanya satu, dua yang benci Timnas Garuda, banyak saya lihat di Facebook, tapi kesamaan mereka apa? Suka klub sepakbola dari luar seperti si Eja Takim ini suka Real Madrid.
Saya jadi ingat waktu kuliah di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, sesudah lama vakum dari Sastra Unair. Sejumlah teman satu kelas ada yang dari Timor Leste, waktu ada pertandingan sepak bola Timnas, ikutan kok nimbrung, nonton bareng di warkop dekat kampus, tidak sampai gontok-gontokan.
Gara-gara sepakbola jadi menjelekkan sesama pemuda Indonesia, Andik, Bambang semua pemain Timnas adalah orang Indonesia. Bagaimana mereka bisa sampai masuk Timnas, tentu punya cerita dan perjuangan masing-masing.
Saya pernah meliput Andik Vermansyah, setelah dia diberi kaos oleh Beckham, waktu itu bareng fotografer harian Surya dan kita harus menunggu karena Andik masih keluar dengan pacar serta kawan-kawan sekolah makan bakso. Kita ditemui oleh kedua orang tuanya di rumah yang baru dibeli seharga Rp 250 jutaan, itupun sebelumnya harus pindah-pindah kontrakan.
Saya masih ingat, dulu sempat bertanya, dulu Ibu mengijinkan Andik serius main sepak bola? Si Ibu menjawab (saya lupa nama Ibunya he he he),"Ya enggak mas, saya ingin dia sekolah, seperti teman sebayanya,".
Kalau Andik jadi seperti sekarang ini, perasaan Ibu bagaimana? "Ya, alhamdulillah mas, ingat-ingat dulu saya dan bapaknya enggak suka Andik main sepak bola, tapi kalau nasib berkata lain, ya dijalani saja mas," ujarnya.
Dengan jujur, Ibu Andik bilang jika, sepak bola tidak ada masa depannya, tapi, nasib Andik berkata lain, secara finansial sekarang Andik menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan Andik ingin meneruskan kuliah, dimana Universitas tersebut mau menerimanya dengan kompensasi bisa ditinggal jika ada kompetisi, serta membuka usaha sendiri.
Andai dan andai, pembenci Timnas Garuda bisa melihat lebih dekat, sisi humanis yang berkembang di dalam sebuah permainan sepak bola, mungkin bisa tidak ceroboh dalam berkata-kata. Tapi, namanya manusia. Janganlah, gara-gara sepakbola jadi menjelekkan sesama. Jadi ingat dulu masih SMA, kalah pertandingan, akhirnya tawuran, sampai-sampai Intel sering nyanggong di depan sekolah.
Gara-gara lihat postingan Facebook seperti ini, jadi ingat cerita almarhumah Bapak dulu. Saat masih jaman perjuangan, pemuda di Malang, karena bapak saya asli Malang, jika ketemu sesama pemuda, apalagi malam hari dan jalan-jalan masuk desa tetangga atau lebih jauh. Biar tahu kalau Arek Malang, maka akan mengatakan sebuah kode mirip merk rokok yakni KANSAS, artinya Kami Anak Negeri Setuju Akan Sukarno, jika sesama pejuang akan membalas dengan SASNAK, lupa saya artinya atau memang dibalik karena Kera Ngalam sukanya membalik kata-kata.
Lah coba, kalau si Eja Takim, hidup dalam kondisi seperti itu, ketemu sesama pemuda harus memberi kode, biar tahu teman atau tidak. Coba kalau yang disapa sedang pakai baju timnas? Hadeuh, ribet mbayanginnya.
Selain itu, saya lahir di Surabaya, masa kecil sering tinggal di rumah almarhum kakek di Jurang Miring depan koperasi NDau (kalau enggak salah) searah Sengkaling. Sekarang tinggal di Sidoarjo dapat istri orang Lamongan. Coba dikaitkan dengan peta suporter sepak bola Tanah Air sekarang ini.
Saya akrab dengan atribut Arema atau Bonek Persebaya sampai masa kuliah, lah sekarang pulang ke rumah Lamongan jadi sering lihat Arela berbaris menuju stadion. Tinggal di kandang Deltras Sidoarjo.
Begitu dulu pernah ramai bentrok suporter LA Mania dengan Bonek, sampai ada korban jiwa. Sampai-sampai jelang hari pernikahan banyak sweeping plat L di jalanan kota Lamongan. Dan, banyak teman menyarankan hati-hati waktu naik motor ke Lamongan. Dalam hati, sampai ngomong, lah apa hubungannya dengan saya, tapi alhamdulillah, rombongan teman-teman dari Surabaya yang hadir ke pernikahan saya naik motor, lancar-lancar saja. Gara-gara sepak bola mereka begini, biarlah anak-anak saya nanti memilih tim favorit mereka tanpa ada benci di dalam dada, apapun cabang olahraganya.
- Indonesia Masih Ada Nusantara Tetap di Dada -