poetryoflife.com |
Bagaimana orang rumah bisa menerima hal ini, apakah mereka siap melihat kita luntang lantung di rumah tanpa penghasilan, syukur-syukur kalau masih ada sisa uang buat tabungan.
Apakah dengan status lajang, bisa sembarangan berkata, ah gampang bisa cari lagi?
Masalahnya ada pada umur dan siapkah kita untuk bekerja dan digaji mulai dari nol lagi? Iya kalau lebih besar atau sama dengan gaji perusahaan yang telah memberhentikan karyawannya tadi, kalau enggak? Padahal kebutuhan berjalan terus dan gaya hidup sekarang susah untuk dirubah.
Saya pernah mengalaminya, parahnya, bos mengumumkan saat saya hendak melakukan pernikahan. Rasanya, semua benda yang ada di sekeliling seakan mendekat, rapat dan hendak menghantam saya. Dada terasa sesak, kepala pening, ngomong pun enggan, terbayang, bagaimana mengatakannya pada calon istri dan Ibu sebagai orang tua satu-satunya.
Dalam rapat, tidak ada kata-kata yang keluar, bahkan saat pulang nanti saya tidak ingin pulang, kata orang Jawa - limbung. Saya sudah bekerja selama 4 tahunan, gara-gara oplah turun drastis, media yang semula dicetak seminggu sekali hendak dijadikan dua minggu sekali. Itupun belum pasti, menunggu keputusan dari penggede di atas.
Bagaimana jawaban saya? Ya sudah, saya keluar, lagian si bos bilang bagi yang mau menunggu, akan dipanggil kembali. Tapi, nasi sudah jadi bubur, kata-kata tempat saya bekerja, tidak bisa diteruskan, harus ditutup, selalu terngiang, sampai kapan?
Bahkan, ada rekan kerja yang curhat soal pertama kali kerja di sana, saat di warkop usai rapat pemutusan tersebut.
Ia bertutur, jika pertama kali kerja, dibelani jalan kaki dari rumah ke tempat kerja, dengan jarak yang lumayan jauh. Itu pun dilakukan dengan senang hati, pendeknya, apapun untuk perusahaan dengan harapan, bisa tetap survive dan kelangsungan hidup dapat terjamin.
Faktanya? Setelah pulang ke rumah masing-masing, Ibu bilang, mau bagaimana lagi, meski saya tahu, dalam benak Ibu saya tercinta, terpikir banyak hal, bagaimana nasib saya nanti. Lah wong untuk beli cincin nikah saja sudah tidak ada duit. Sampai-sampai, Ibu menjual cincin bonus dari tempat bekerjanya dahulu untuk diberikan kepada saya untuk dijual bekal beli cincin nikah, Ya Tuhan, beban ibarat ditumpuk-tumpuk, pernikahan tidak bisa ditunda (mau ditunda berapa lama lagi karena tinggal akad, menunggu saya dapat kerja? Ahh tidak sampai kesana pikiran saya waktu itu).
Pekan pertama usai berhenti kerja, saya sering membantu berjualan di toko, kebetulan ada toko kelontong di rumah. Selanjutnya saya isi dengan sillaturrahmi ke mantan teman kerja, tanya perkembangan, apa ada lowongan pekerjaan lagi.
Sampai hampir setengah tahun dan pernikahan sudah berjalan, alhamdulillah ada teman kerja yang menawari saya untuk bekerja di media online di Surabaya, ya sudah, tanpa ba bi bu, saya ambil.
Tidak ada tips jitu, trik ajaib untuk memecahkan masalah ketika berhenti kerja, berapapun solusi yang ditawarkan semuanya hanya teori. Mending berhenti kerja karena dipecat atau mengundurkan diri, lah ini tiba-tiba perusahaan yang berhenti kayak mobil mogok yang enggan kita tumpangi lagi.
Berdasar pengalaman, lebih baik di saat kerja sekarang ini, jika ada keinginan untuk berusaha, wujudkanlah, apapun itu, bagaimana caranya, lekas jalankan. Karena kita berpacu dengan waktu yang maha gaib (bukan jam tangan atau jam dinding loh ya).
Bila beranggapan susah melakukan dua hal sekaligus, bekerja formal dan wiraswasta, ah itu bisa-bisa nya pikiran kita saja yang tidak sengaja, menggoda, membatasi ruang gerak kita.
Selagi masih ada kesempatan untuk berusaha sendiri, lakukan. Memang saya bukan motivator yang kerap nongol di media atau seminar. Saya hanyalah si bungsu, anak manusia yang pernah dan akan mengalami problematika hidup seperti manusia lainnya. Untuk itulah kita harus terus belajar, tetap optimis karena hidup terus berjalan.
- Lalui saja semua pasti berakhir - Label: Renungan dan Motivasi
Responses
0 Respones to "Berhenti Kerja? Don't Worry"
Post a Comment