Langsung saja, masuk ke dalam warung, berhubung lokasinya di tepi pantai, saya bisa melihat jelas bagaimana selat madura terhampar luas. Sayang di pinggir, air nampak keruh berwarna kecoklatan agak sedikit hijau, namun tetap saja mengagumkan bisa melihat pinggiran laut di pagi hari. Udara masih sejuk, sinar matahari belum seberapa tinggi.
Tidak lama, nampak seorang laki-laki, perlahan mulai menggerakkan perahunya menuju ke tengah. 'bersenjatakan' bambu, perlahan tapi pasti perahu ikan mulai meninggalkan deretan warung tempat saya menyeruput kopi. Berhubung bawa kamera, kenapa tidak saya foto. Ya sudah, keluarkan kamera, jepret mumpung belum ketengah dan masih berlatar belakang Jembatan Suramadu.
Setelah hasilnya sedikit saya edit online lewat web, dalam benak mulai muncul pikiran. Mereka tetap teguh menggunakan laut sebagai mata pencaharian. Padahal dunia sudah modern, tetap saja mereka menggunakan perahu kayu, tonggak bambu. Tanpa alat seperti GPS, Fish Finder dan semacamnya. Mereka tetap berjuang hidup, hal tersebut mengingatkan saya. Dimanapun manusia berada, Ibu Pertiwi telah menyediakan semua kebutuhan kita. Terus memberi tanpa meminta balik. Sedangkan kita, hanya numpang lewat di dunia ini.
Tak sadar, kopi sudah tinggal ampas dan si nelayan tadi sudah mulai terlihat mengecil di atas gundukan ombak. Hmm, waktunya kembali ke jalanan dan memandang lalu lintas Kota Surabaya yang kian lama makin banyak kendaraan. Enaknya nelayan tersebut, tidak kenal macet, polusi, paling banter kulit jadi eksotis namun badan terus bergerak karena harus terus mengayuh.
Beginilah hidup, kata orang Jawa, Sawang Sinawang, saya melihat nelayan tersebut enak, mungkin sebaliknya dibilang hidup saya juga enak, pagi-pagi sudah minum kopi, foto pake kamera dsb. Padahal? Yah begitulah, manusia punya rel kehidupan sendiri.
Responses
0 Respones to "Nelayan Suramadu"
Post a Comment